Keterlibatan organisasi masyarakat sipil (OMS) diyakini bisa mempercepat transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia bersama Bappenas menggandeng sejumlah OMS meluncurkan empat proyek untuk mengakselerasi transisi hijau dan pembangunan yang berkelanjutan.

JAKARTA – Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Denis Chaibi mengungkapkan peluncuran proyek ini dilakukan dengan tujuan untuk mendukung rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang serta ambisi pemerintah Indonesia terkait transisi hijau.

Proyek-proyek tersebut, kata Denis, diyakini akan memperkuat jaringan masyarakat sipil dan berfokus pada transisi energi yang adil, pemanfaatan lahan secara berkelanjutan, perhutanan sosial, dan ekosistem yang suportif bagi OMS.

“Kenapa ini sangat penting bagi Uni Eropa? Ini sangat penting bagi semua orang di seluruh dunia. Kita tidak punya planet B seperti tadi yang dikatakan sebelumnya. Dan ini topik yang sangat penting dan prioritas bagi semua orang,” ungkap Denis di Jakarta, Kamis (27/6).

Proyek pertama yang diluncurkan Kamis, bertemakan, “Mendukung Kontribusi Masyarakat Sipil untuk Pembangunan yang Sejahtera, Adil, dan Lestari dalam Transisi Energi dan Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan” yang dilaksanakan oleh WWF Indonesia dan Auriga Nusantara. Proyek yang berlangsung selama tiga tahun ini akan berusaha mengadopsi tata kelola penggunaan lahan yang bertanggung jawab dan proses transisi energi di Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Proyek kedua, yang bertemakan “OMS Berdiri Bahu Membahu Untuk Melindungi Mata Pencaharian Hutan”, dilaksanakan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI (KKI Warsi), Organisasi Aksi! for Gender, Social, and Ecological, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Stichting IUCN Nederlands Comite (IUCN NL).

Peluncuran empat proyek yang melibatkan ormas sipil dalam rangka akselerasi transisi hijau dan pembangunan berkelanjutan yang diselenggarakan EU-Indonesia Civil Society Forum 2024. (Humas Kedutaan Uni Eropa untuk Indonesia)

Program ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat adat dan masyarakat lokal di provinsi Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Barat agar dapat melakukan pengelolaan hutan secara lestari dan inklusif, serta mendorong pemerintah untuk menyediakan kebijakan yang memadai untuk meningkatkan mata pencaharian.

Proyek ketiga, bertemakan “Memperkuat Ruang Gerak Masyarakat Sipil dan Lingkungan yang Mengembangkan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil Lokal untuk Mendorong Transisi Hijau yang Adil dan Inklusif di Indonesia (CO-EVOLVE 2)”, yang merupakan kerja sama antara Yayasan Penabulu, ASEAN Youth Forum, Indonesian Data Journalism Network (IDJN) dan Yayasan Lokadaya Nusantara Network berusaha memperkuat jejaring OMS dengan pendekatan gender dan kepemudaan untuk mewujudkan transisi yang berkeadilan.

Proyek keempat, dengan tema “Membangun Lingkungan yang Mendukung Masyarakat Sipil yang Kuat di Indonesia (BASIS)”, melibatkan YAPPIKA-ActionAid dan Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM). Proyek yang diterapkan di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera ini bertujuan mendukung pengembangan OMS, serta meningkatkan kapasitasnya dalam pemantauan dan advokasi yang efektif.

Lebih jauh, Denis mengungkapkan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk melakukan transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan, mengingat ketersediannya yang melimpah.

“Jadi, semua kunci elemen untuk energi terbarukan ada di Indonesia, sehingga potensinya ada. Tetapi bagaimana mengkonversi potensi itu menjadi kenyataan lewat teknologi, pembiayaan, metode, rencana, dan kita merasa terhormat untuk bekerja sama dengan Indonesia untuk semua aspek ini,” jelasnya.

Ia menilai, Indonesia selama ini terlalu berambisi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat dengan masih menggunakan energi fosil seperti batu bara yang cukup murah dan banyak.

Dubes Uni Eropa untuk Indonesia Denis Chaibi dalam acara EU-Indonesia Civil Society Forum 2024 mengatakan peluncuran empat proyek dengan ormas sipil diharapkan dapat mengakselerasi transisi hijau dan pembangunan berkelanjutan (Humas Kedutaan Uni Eropa untuk Indonesia)

“Jadi dengan energi itu, pemerintah harus memikirkan sebuah keputusan apakah tetap akan menggunakan energi dari batu bara sebagai bagian untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cepat, atau mengedepankan investasi yang berkelanjutan tetapi pertumbuhan ekonominya lambat. Ini sangat bergantung kepada objektivitas, pilihan masyarakat dan pilihan investasi. Jadi ini sesuatu yang kompleks, dan kita ingin belajar itu dari Indonesia untuk menghadapi tantangan tersebut,” jelasnya.

Kriminalisasi dan Intimidasi

Terlepas dari peluncuran proyek-proyek untuk mendukung transisi energi hijau, pada saat ini masih banyak kriminalisasi dan intimidasi yang kerap dihadapi oleh masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan masyarakat lokal dalam upaya mempertahankan lahan dari berbagai gempuran kegiatan industri. OMS juga tidak luput dari permasalahan tersebut.

Direktur Pusat Ilmu Pengetahuan Transdisiplin dan Keberlanjutan, Institut Pertanian Bogor (IPB) Damayanti Buchori mengatakan salah satu tantangan berat dalam upaya melakukan transisi energi yang lebih ramah lingkungan adalah mengedepankan keadilan, khususnya bagi masyarakat adat.

“Kalau mau menuju sustainability kita harus berubah. Keadilan bagi masyarakat adat, masyarakat lokal, yang harus diutamakan, karena in the long term, ecosystem services itu datang dari hutan, lingkungan yang harus kita jaga bersama-sama. Mereka adalah penjaga hutan, penjaga lingkungan, itu yang harus kita hormati,” ungkap Damayanti.

Lebih jauh, Damayanti menekankan dengan peluncuran proyek tersebut juga diyakini bisa memperkuat peran OMS, yang dalam beberapa waktu belakangan ini dilanda kekhawatiran terkait ruang geraknya yang semakin sempit.Kuncinya, kata Damayanti, adalah memperkuat kolaborasi dengan banyak pihak.

“Saya rasa mungkin masyarakat sipil tidak bisa sendirian, dan harus bisa berjalan dengan kaum akademisi misalnya. Jadi perguruan tinggi bersama masyarakat sipil harus bersama-sama menjaga civic space, dan ini tantangan bagi keduanya, beranikah kita berjalan? Harus, karena kalau tidak pemerintah bisa mempunyai kekuasaan yang begitu besar dan menyingkirkan civic space. Sebagai negara demokrasi kita harus mempunya keberanian itu,” tegasnya. (Voaindonesia.com/BS)