POJOKBANUA, BARABAI – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Hulu Sungai Tengah dengan tegas menolak perdagangan karbon diwilayahnya.

Mereka beralasan, karena masyarakat adat setempat sampai hari ini masih belum diakui.

“Sebelum ada pengakuan atau legalitas terhadap masyarakat adat yang ada di HST, kami jelas menolak,” kata Ketua AMAN HST, Syahliwan, Jumat (1/12/2023).

Menurutnya, wilayah potensi perdagangan karbon di HST berada di kawasan Pegunungan Meratus yang banyak dihuni masyarakat adat. Sedangkan, usulan pengakuan masyarakat adat dari pihaknya sudah lebih dari satu dekade tidak kunjung di sahkan, bahkan tidak dibahas.

“Sejak tahun 2012 kami sudah mengusulkan Perda (Perda) Pengakuan dan Perlingungan Masyarakat Adat di HST. Namun, sampai ini masih nihil,” paparnya.

Selain pengakuan, pihaknya lebih mendukung terhadap pemberdayaan potensi ekonomi lokal di wilayah-wilayah adat. Diantaranya sektor pangan, pariwisata, budidaya anggrek, penangkaran hewan, dan sebagainya.

“Sebenarnya yang paling utama itu infrastruktur dahulu dibangun. Jika infrastrukturnya terbangun, maka potensi ekonomi akan mengikuti saja. Sementara kondisi saat ini, akses masyarakat masih terbatas, bahkan masih banyak wilayah adat yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki saja,” bebernya.

Terkait perdagangan karbon ini, pihaknya memahami bahwa mekanismenya seperti sistem tambal sulam. Jika mendukung perdangan karbon di daerah kita, maka sama saja kita mendukung perusakan lingkungan di daerah yang lain.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Selatan (Kalsel), Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, masyarakatnya adat saja belum diakui, jika dipaksakan akan sangat rawan.

“Bisa-bisa masyarakat adat hanya jadi penonton,” katanya.

Bagi Walhi, lanjut Kisworo, perdagangan karbon ini merupakan jalan sesat untuk mengatasi krisis iklim. Sebab perdagangan karbon hanyalah sebuah modus untuk tetap mempertahankan ekstraktivisme, finansialisasi alam, sembari melakukan praktik greenwashing.

“Sejak dulu Walhi tentunya menolak ekstraktivisme yang telah terbukti menyebabkan krisis iklim dan krisis multidimensi di Indonesia,” lugasnya. (MH/FN)

Editor: Gusti Fikri Izzudin Noor