POJOKBANUA, BARABAI – Rencana perdagangan karbon di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel) masih menjadi buah bibir di berbagai kalangan masyarakat.

Rencana ini hadir sebagai salah satu solusi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HST atas komitmen daerahnya yang masih mempertahankan kelestarian lingkungan dan mendorong ekonomi hijau untuk masyarakat.

Akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dr Ahmad Jauhari memberi tanggapan terkait rencana itu. Bahkan, dirinya juga sempat hadir jadi narasumber memaparkan peluang HST dalam bisnis perdagangan karbon.

Ia menekankan, hal terpenting untuk memasuki perdagangan karbon masyarakat adalah adanya pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat.

“Hal ini sebagai jaminan keberlanjutan usaha berbasis karbon,” katanya, belum lama tadi.

Dia menilai, pada dasarnya perdagangan karbon bisa skala besar. Sedangkan jika mengandalkan lahan masyarakat, hal itu bergantung dari luas total lahan milik masyarakat yang mau bergabung.

Kendati demikian, Jauhari mengaku dirinya masih belum terlalu mengetahui pola yang akan diterapkan HST dengan kerja sama Bloktogo itu. Ia membenarkan memang masih belum ada perdagangan karbon yang berjalan di Kalsel.

Jauhari menerangkan, ada sejumlah tantangan tersendiri di HST. Jika mengacu pada data citra satelit Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang didapat dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) HST, beberapa tahun terakhir tutupan lahan di HST berkurang signifikan.

Pada tahun 2017, Kabupaten HST tercatat memiliki tutupan lahan sebanyak 61 persen dari luas lahan 120 ribu hektare. Lalu, pada tahun 2020 tutupan lahan tersebut hanya tersisa 38 persen, yakni ada penurunan sebesar 23 persen.

“Artinya, HST kehilangan tutupan lahan sebesar 7,6 persen atau sekitar 9.200 hektare per tahun. Apabila diakumulasikan, tutupan lahan yang hilang yakni 27.600 hektare dalam tiga tahun ini,” paparnya.

Menurut Jauhari, walaupun ada tantangan itu Kabupaten HST masih sangat potensial untuk memasuki perdagangan karbon berbasis masyarakat. Mengingat, pemerintah kabupaten (pemkab) setempat komitmen tidak ada perkebunan skala besar dan pertambangan.

Lebih lanjut, perkebunan masyarakat setempat masih banyak terpelihara, tetapi belum banyak mendapatkan nilai manfaat jasa lingkungannya. Meski begitu, ada juga lahan terbuka cukup tinggi akibat usaha masyarakat yang dapat mereduksi kualitas lingkungan.

“Sebaiknya, Pemkab HST melakukan pendekatan kepada semua pihak yang menghasilkan GRK (gas rumah kaca) agar mau bekerja sama dalam upaya mereduksi GRK berbasis masyarakat,” sarannya.

Di samping itu, pihaknya di institusi pendidikan, khususnya KHDTK ULM juga turut berkomitmen untuk mendorong perdagangan karbon di Kalsel, tentunya bekerja sama dengan berbagai pihak. (MH/KW)

Editor: Yuliandri Kusuma Wardani