POJOKBANUA, BANJARBARU – Seorang penulis, Sandi Firly. Pria kelahiran Kuala Pembuang, Kalimantan Tengah, pada 16 Oktober 1975 itu menceritakan pengalaman hingga jejak karirnya selama ini.

Ciri khasnya, berambut ikal dengan sedikit janggut, kelopak mata yang nampak jarang tertidur dan senyum tipis jika bertemu orang membuat sosoknya terlihat sederhana.Namanya mulai dikenal banyak orang, ketika memenangkan Sayembara Novel Aruh Sastra Kalimantan XIV Kandangan Tahun 2017. Ya, Novelnya berjudul MAY menang di ajang bergengsi tersebut.

Saat itu, jurinya antara lain Raudal Tanjung Banua, Sainul Hermawan dan Masri Sareb Putra.

Tak hanya itu, ia juga pernah lolos seleksi Emerging Ubud and Writer Readers Festival di Bali Tahun 2011. Berkat novelnya yang berjudul Rumah Debu.

Prestasi lain yang diperoleh yakni karyanya termuat dalam beberapa antologi bersama Regenerasi dan Panggung Muda Cerpen Indonesia, Jurnal Cerpen Indonesia 2009 yang didedikasikan kepada penulis muda dengan cerpennya yang berjudul Kematian Pagi. Adapun, cerpen berjudul Perempuan yang Memburu Hujan adalah debut buku pertamanya bersama cerpenis, Harie Insani Putra.

Belum lama tadi, ia juga menjadi narasumber Kelas Jurnalistik di Pembekalan Skill LIM IPM Kalimantan Selatan pada Sabtu, 12 Juni 2021.

Lantas, selama ini belum banyak yang tahu bagaimana perjalanan panjang pria yang saat ini tinggal di Banjarbaru, Kalimantan Selatan tersebut hingga menyadari bahwa dirinya memiliki bakat menulis.

“Sewaktu SMA, ada tugas mengarang. Saya menulis cerpen dengan judul Gosong Buaya. Saat itu nilai saya tertinggi yakni 9,5 kalau tidak salah ingat. Saya sering diminta teman-teman kuliah dulu untuk menulis surat cinta. Bahkan, ada beberapa teman saya yang jatuh cinta dengan orang sama,” ungkapnya kepada pojokbanua.com, Kamis (8/7/2021) kemarin.

“Banyak dari mereka ditolak. Tapi saya rasa bukan karena surat cinta saya jelek, tapi teman-teman saya itu memang jelek,” ucapnya sembari tertawa kecil.

Setelah menulis surat cinta, ia biasanya diberi upah rokok atau sekedar dibikinkan kopi. Namun, hal itu juga belum menyadarkannya jika ia memiliki bakat.

“Saya sadar ketika saat masuk kuliah. Pertama, saya ingin kuliah dalam jurusan seni lukis karena Banjarmasin tidak ada kuliah seni lukis. Saya bertanya, apa kira-kira yang bisa saya kembangkan atau asah dalam kemampuan menulis,” tuturnya.

Kemudian, tiba-tiba teringat dengan masa SMA yang dulunya dia pernah mendapat nilai tertinggi. Bahkan, sering membantu teman menulis surat cinta.

Akhirnya, dipilihlah yang materinya terdekat dengan menulis yaitu kuliah pada jurusan jurnalistik di Universitas Islam Kalimantan Arsyad Al Banjari.

Kendati demikian, sebelum menyukai menulis, Sandy semasa kecil ternyata sangat gemar menggambar. “(Tapi) saya suka membaca. Di rumah abang saya dulu banyak terdapat buku-buku sastra, dia wartawan Tempo. Kemudian, saya (mulai) suka membaca. Termasuk membaca majalah-majalah Tempo. Saya tidak ingin sekedar membaca, maka saya kemudian menulis,” jelasnya.

Singkat cerita, cerpen pertamanya dulu pernah lolos di media cetak Banjarmasin Post berjudul Pulang. Kisah nyata yang dijadikannya sebuah cerpen. Cerpen itu ia kerjakan saat libur semester pertama kuliah. Honor pertamanya, digunakan untuk nongkrong untuk mengopi hanya seorang diri.

“Di masa awal saya menulis, masih begitu jarang penulis bermunculan di Kalimantan Selatan. Kalau pun ada, seringkali adalah yang lebih bergiat pada kepenyairan. Jadi, cerpen yang saya buat untuk dibaca sendiri saja dan langsung dikirimkan ke media,” bebernya.

Setelah lulus kuliah, Sandy pernah bekerja sebagai Jurnalis di Radar Banjarmasin. “Tapi, di sana saya lebih banyak menulis feature dan budaya. Tentunya, dengan masih tetap menulis. Seiring berjalannya waktu ketika saya (masih) bekerja di Radar Banjarmasin, saya salah satu inisiasi dalam pembuatan halaman sastra. Kemudian, saat itu lah para penulis muda bermunculan,” kata dia.

Namun, ia membantah jika kesenangannya dalam hal menulis itu terinspirasi dari salah satu sosok. “Tapi jika terinspirasi dari karya, pernah beberapa. Bahkan, biasa di bawah sadar. Tapi lebih sering ya pengalaman yang dijalani. Misalnya ke suatu tempat, bertemu orang, kemudian pengalaman hidup kita sendiri yang menjadi motif inspirasi. Selebihnya, selama ini saya yakini bila pekerjaan menulis adalah pekerjaan berpikir,” sambungnya.

Namun, ia mengungkapkan bahwa penulis favoritnya yaitu Luis Sepulveda. Bahkan, bukunya dibaca berulang kali.

“Yang muda, bersungguh-sungguhlah jika ingin menjadi penulis. Mesti rela menghabiskan banyak waktu untuk berlatih. Sebab, tidak cukup banyak keberuntungan di dalam dunia menulis. Kamu mesti mengusahakannya sendiri,” pesannya.

Kini, kesibukan Sandy Firly mengawali harinya dengan mengopi, kemudian menulis sembari mengisi waktu dengan melukis. (MS/PR)