Indonesia menerima 20 ribu kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi. Namun, separuhnya atau 10 ribu kuota justru dialihkan untuk haji khusus oleh Kementerian Agama. Tim pengawas haji DPR mengkritisi keputusan ini karena dinilai menyalahi aturan.

JAKARTA – Tim Pengawas (Timwas) Haji, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti keputusan pengalihan 10 ribu kuota tambahan haji untuk haji khusus (ONH Plus). Tim ini menilai, langkah itu menyalahi aturan yang ditetapkan.

Anggota Komisi VIII DPR, sekaligus anggota Tim Pengawas Haji, John Kenedy Azis menjelaskan kepada VOA Rabu (19/6), bahwa tambahan kuota haji 20 ribu jamaah tersebut, sudah diketahui sebelum Panitia Kerja (Panja) Haji Komisi VIII DPR dibentuk, pada 13 November tahun lalu.

Dia menambahkan dalam berbagai rapat kerja dengan Panja Haji tersebut, Kementerian Agama sama sekali tidak menyebutkan tentang pengalihan dari kuota tambahan untuk haji khusus. Proporsinya, kata John Kenedy, tetap sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Dalam undang-undang tersebut, komposisi dari kuota haji itu adalah 92 persen untuk haji reguler dan delapan persen untuk haji khusus.

“Tiba-tiba pada 13 Mei atau tanggal berapa kita rapat dengan pemerintah, kuota tambahan 20 ribu itu dibagi dua saja sama pemerintah, 10 ribu untuk haji reguler, 10 ribu haji khusus. Dalam konteks itu, saya mempertanyakan apa landasannya, apa dasar hukumnya,” kata John Kenedy.

John Kenedy mempersoalkan pengalihan setengah dari tambahan kuota 20 ribu jamaah haji itu, karena Panja Haji sudah memutuskan dalam rapat terakhir bahwa komposisi haji khusus tetap delapan persen dari seluruh kuota 241 ribu jamaah.

Dia meyakini pengalihan 10 ribu dari 20 ribu kuota tambahan haji tersebut adalah ilegal, melanggar undang-undang, keputusan rapat kerja, dan keputusan Panja. Menurutnya, jika menteri agama bisa seenaknya mengeluarkan keputusan semacam itu, untuk apa ada rapat kerja dan undang-undang.

“Kuota tambahan yang 20 ribu inilah yang dibagi rata aja sama kementerian (agama) tanpa sepengetahuan DPR, tanpa persetujuan DPR, melanggar rapat kerja, melanggar undang-undang. itu yang saya protes,” ujarnya.

Ketika diprotes, lanjutnya, Kementerian Agama hanya menyatakan hal itu berdasarkan kesepakatan antara pihaknya dengan Kementerian haji dan Umrah Arab Saudi.

John Kenedy menegaskan pengalihan 10 ribu kuota untuk haji khusus itu berdampak pada makin panjang antrean haji yang sudah menunggu hingga 10-40 tahun. Selain itu lanjutnya, dia melihat penyelenggara haji khusus juga tidak siap dengan tambahan kuota 10 ribu jamaah tersebut, terkait pelayanan yang diberikan. John Kenedy mengatakan komisinya akan membentuk Panitia Khusus untuk membahas penyelenggaraan haji segera setelah rapat evaluasi dilaksanakan.

Pertimbangan Fasilitas Haji

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP AMPHURI) Firman Muhammad Nur mengapresiasi pemerintah Arab Saudi yang memberikan tambahan kuota sebesar 20 ribu, dari kuota ditetapkan sebelumnya untuk Indonesia yakni 221 ribu jamaah.

Dia menambahkan pemerintah Saudi tentu menargetkan tambahan kuota tersebut sejalan dengan Visi Saudi 2030, yakni jumlah jamaah haji akan meningkat menjadi lima juta orang dalam enam tahun ke depan.
Dia menjelaskan tambahan kuota haji sebanyak 20 ribu jamaah itu berdasarkan kesepakatan antara Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi dengan Kementerian Agama Indonesia. Penetapan kuota haji terkait dengan fasilitas dan tempat pelayanan.

Sesuai Visi Saudi 2030, Firman meyakini pemerintah Arab Saudi memberikan tambahan kuota karena memiliki misi ekonomi.

“Mereka mungkin merasa perlu adanya haji khusus ini sepuluh ribu tambahan (kuota) untuk menambah tingkat okupansi hotel-hotel bintang lima di sekitar Masjidil Haram. Makanya diberi kepercayaan kepada haji khusus dan semuanya itu termaktub dalam kesepakatan yang menjadi keputusan Arab Saudi. Tentunya pemerintah Indonesia menjalankan. Karena seketika kuota dibagikan, itu sudah masuk dalam sistem pemisahan,” katanya.

Dia menilai tidak ada pengalihan tambahan kuota haji 20 ribu jamaah untuk haji khusus. Pasalnya alokasi itu sudah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi. Dia menyebutkan, kuota haji Indonesia berbasis 221 ribu dan haji khusus mendapat alokasi delapan persen dari 221 ribu tersebut.

Bahkan pada 2022, lanjut Firman, kuota haji Indonesia dipotong setengah hingga hanya 105 ribu jamaah. Ketika itu, haji khusus hanya memperoleh porsi 7,2 persen dari jumlah tersebut.

Tambahan kuota 20 ribu jamaah dari Arab Saudi itu karena ada lokasi yang perlu diisi sesuai dengan kapasitas yang ada. Hal ini mungkin akibat beberapa negara lain tidak mampu memenuhi kuota hajinya.

Ketika diberikan tambahan kuota haji itu kepada Indonesia, lanjut Firman, pemerintah Saudi tentu menetapkan target lokasinya yang akan disebar. Mungkin pemerintah Saudi melihat tambahan alokasi 10 ribu jamaah haji khusus itu karena hotel-hotel bintang lima di sekitar Masjid Al-Haram belum penuh.

Jika tambahan 20 ribu kuota tersebut semuanya untuk haji reguler, maka secara ekonomi mereka akan ditempatkan di hotel-hotel yang jaraknya jauh dari Masjid Al-Haram.

Dia mengatakan yang perlu diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia dengan tambahan kuota 20 ribu jamaah haji, adalah meluasnya tambahan wilayah untuk fasilitas akomodasi di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Sampai saat ini, AMPHURI melihat alokasi 1 meter persegi per jamaah untuk akomodasi itu terlalu kecil.

Jika dihitung dengan luasan untuk fasilitas umum, maka area untuk menginap setiap jamaah rata-rata hanya 70 sentimeter persegi. Ukuran ini kurang pas untuk ukuran tubuh jamaah haji Indonesia. AMPHURI mengusulkan standar akomodasi untuk tiap jamaah minimum 1,6 meter persegi. Organisasi ini melihat, sejumlah negara justru menerima area akomodasi lebih luas untuk jamaah hajinya, dibanding yang diperoleh Indonesia.

Hingga laporan ini disusun, Kementerian Agama belum memberi respon permintaan tanggapan dari VOA. (Voaindonesia.com/BS)

Editor: Bambang Setiawan