POJOKBANUA, BARABAI – Tiga calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) mulai buka suara terkait berbagai programnya, termasuk bidang pendidikan. Namun, dari ketiga pasangan itu belum ada terlihat yang spesifik untuk pemenuhan hak pendidikan masyarakat adat.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Selatan (Kalsel), Rubi mengatakan, pihaknya meminta siapapun nantinya capres-cawapres yang terpilih agar dapat memenuhi hak pendidikan masyarakat adat.

Menurut Rubi, jika menggunakan cara pandang pembangunan berkelanjutan, pendidikan untuk masyarakat adat adalah pendidikan yang melihat mereka sebagai manusia merdeka, setara, memiliki pengetahuan dan kemampuan. Sehingga, mereka harus dapat ikut menentukan apa yang hendak dipelajari.

“Sistem pendidikan ini tidak hanya kontekstual, melainkan juga partisipatif, kritis dan otonom. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pendidikan yang anti penindasan, bukan penundukan ke dalam sistem yang justru mendiskriminasi. Dalam hal ini, masyarakat adat harus diberikan kemampuan untuk melawan segala bentuk penindasan yang mengepung ruang hidup masyarakat adat,” katanya kepada pojokbanua.com, Sabtu (2/12/2023).

Ia menjelaskan, jika ditinjau secara geografis, masih banyak wilayah masyarakat adat yang masih belum mendapatkan hak pendidikannya secara maksimal. Permasalahannya, akses yang jauh, blank area alias tidak terjamah sinyal internet maupun jaringan listrik terbatas, tenaga pengajar, isi pembelajaran yang kurang relevan, serta tidak adanya keterlibatan masyarakat adat dalam penyusunan sistemnya dan tidak ada perhatian khusus untuk peningkatannya.

Untuk lokasinya, tersebar hampir di setiap wilayah adat di Kalsel. Termasuk dua desa tertinggal di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), yakni Desa Juhu dan Desa Aing Bantai beserta berbagai anak desa di dalamnya.

Rubi membeberkan, Pasal 8 Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional memang menyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.

Peran mereka dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu individu, masyarakat sekitar, termasuk orang tua murid dalam komite sekolah dan masyarakat di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional dalam dewan pendidikan.

“Harapan kami ada pelibatan masyarakat adat dalam sistem pendidikan agar dapat sesuai dengan kehidupan keseharian hingga ke depan,” bebernya.

Pendidikan yang ada saat ini, dinilainya tidak mampu mengukur kemahiran anak perempuan Meratus. Ia memandang, pendidikan yang terlalu berambisi mengejar nilai keberhasilan yang tinggi juga berdampak besar tapi tidak terlihat melalui angka, yaitu anak-anak masyarakat adat akan merasa semakin terpinggirkan dan rendah diri.

Di sisi lain, terputusnya penggunaan bahasa masyarakat setempat tentu patut dikritisi karena itu unik. Sebab, menyimpan kekayaan sosial dan ekologis masing-masing yang tidak dapat diwakili oleh bahasa lain dari mana pun. Banyak konteks kebudayaan dan pengetahuan tradisional yang tidak bisa diterjemahkan keluar dari bahasa di mana kebudayaan itu dipergunakan.

Rubi menegaskan, pentingnya juga penggunaan bahasa ibu atau bahasa lokal, serta pengetahuan tradisional untuk mempertahankan tradisi dan budaya dalam dunia pendidikan. Seperti hal-nya untuk Masyarakat Adat Meratus yang notabene adalah petani ladang.

“Jika ada orang tua yang meminta bantuan anak-anak di ladang saat panen akan dianggap mengabaikan hak pendidikan anak-anaknya. Padahal, keterlibatan anak dalam membantu orang tua adalah bagian dari banyak aspek pendidikan itu sendiri, mulai dari rasa tanggung jawab, gotong royong, belajar tentang alam, berhitung dan masih banyak lagi,” paparnya.

Kenyataan saat ini, pengetahuan masyarakat adat lebih banyak dihadirkan secara ornamental sebagai muatan lokal, seperti kerajinan tangan atau kesenian daerah. Padahal, melalui cara pandang pembangunan yang berkelanjutan, justru pengetahuan tradisional masyarakat adat-lah yang berada di garis depan.

Kemudian, sistem transmisi pengetahuan masyarakat adat pun tidak berbasiskan tulisan, sehingga dapat dilakukan sendiri dengan membaca. Bagi masyarakat adat, pendidikan adalah pembelajaran dalam hidup. Oleh karena itu, proses pembelajaran umumnya berbasiskan pengalaman atau ‘learning by doing’, termasuk di dalamnya proses pengamatan, tindakan, sekaligus interaksi dengan alam secara langsung atau dengan orang dewasa seperti mendengarkan dongeng, cerita, mitos, metafora, atau lagu-lagu.

Semestinya, masyarakat adat berhak menentukan proses dan arah pendidikannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 14 Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Bahkan disebutkan bahwa negara-negara harus mengambil langkah-langkah efektif agar masyarakat adat, khususnya anak-anak, memiliki akses, bila mungkin, ke pendidikan dalam budaya dan dengan bahasa mereka sendiri.

Berikutnya, ada juga Pasal 30 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa anak-anak masyarakat adat tidak boleh diingkari haknya untuk menikmati budayanya sendiri, menganut dan mengamalkan agamanya atau menggunakan bahasanya.

“Semoga, siapapun nantinya yang memimpin, untuk pendidikan ke depan penting akan pelibatan masyarakat adat dalam sistem pendidikan. Khusus bagi masyarakat adat yang masih memiliki pengetahuan tradisional, sehingga dapat menyesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masyarakat setempat,” tuturnya.

“Karena pengetahuan yang dimiliki dan cara mempertahankan alam itu sudah dipelajari oleh mereka sejak dini. Sistem pendidikan tidak hanya terpaku pada standar umum saja, melainkan memperhatikan asal-usul dan pengetahuan dasar masyarakat adat,” imbuhnya. (MH/KW)

Editor: Yuliandri Kusuma Wardani