POJOKBANUA, BANJARBARU – Desa Bangkal, Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Kalsel) terdengar dentuman tak berirama yang bersahutan, Sabtu (9/9/2023).
Ini bukan kebisingan kota besar, melainkan suara lesung tradisional yang menunjukkan kehidupan yang berakar kuat di desa ini. Tiba sekira pukul 15.00 Wita, ditemukan pemandangan yang cukup mempesona.
Jurnalis pojokbanua.com, Wahyu Firdha
Sejumlah perempuan menyambut ramah sembari sibuk menumbuk beras dengan alat tradisional lesung. Mereka terlihat begitu asyik dalam pekerjaan mereka, seolah-olah menyanyikan lagu rahasia dari masa lalu yang mereka nikmati.
Aslamiah, seorang wanita berusia 50 tahun ini telah menekuni profesi sebagai penumbuk beras atau pembuat tepung beras selama lebih dari 20 tahun.
“Alhamdulillah, ini telah membantu perekonomian keluarga kami. Terutama karena suami saya hanya seorang petani, serta kerja serabutan lain yang penghasilannya tidak seberapa,” ungkapnya tersenyum tulus.
Dirinya telah banyak menerima pesanan sejak bertahun-tahun untuk membuat tepung beras secara tradisional ini. Biasanya, mereka menggunakannya untuk membuat kue atau hidangan khas atau bahkan mengubah beras menjadi tepung.
Beras yang diubah menjadi tepung, ia menerima upah sekitar Rp3000, sedangkan untuk ketan Rp4000 ribu per liter.
“Upah ini mungkin tidak sebesar upah pekerjaan modern, tetapi bagi kami di sini, ini adalah mata pencaharian yang berharga,” ujarnya.
Menurutnya, alat tumbuk beras lesung seperti yang mereka gunakan sekarang hampir tidak lagi ditemukan di daerah lain atau dengan kata lain hampir punah oleh modernitas.
“Ini adalah tradisi yang kami pertahankan dengan bangga, meski pun alat tradisional kami hampir punah oleh perkembangan zaman. Hanya sedikit dari kami yang masih mempraktikan cara ini, karena yang lainnya lebih suka pergi ke pabrik,” jelasnya.
Kisah Aslamiah dan perempuan-perempuan di Desa Bangkal adalah pengingat akan pentingnya melestarikan warisan budaya dan tradisi. Simbol masyarakat yang gigih menjalani hidup, enggan menyerah walau susah. (WF/KW)
Editor: Yuliandri Kusuma Wardani
Tidak ada komentar