POJOKBANUA, BANJARBARU – Tato menghiasi sekujur tubuh pria itu, bahkan hingga ke wajahnya. Pergelangan tangannya semarak dengan gelang-gelang. Kalung besi nan besar melingkar di leher. Rambut panjang semrawut kerap diselubungi bandana. Sekilas seseorang akan menangkap kesan preman dan orang mbeling lewat sosok itu.
Tapi stigma umum itu goyah ketika pojokbanua.com berhadapan langsung dengan pria bertato tersebut. Kehangatan segera menyergap. Logat masih kental daerah asalnya, Sumatera. Bicaranya tegas, lancar dan terpelajar.
Lebih mengejutkan lagi, pria bernama Jois Joy atau akrab disapa Jay itu ternyata merupakan marbot mushala Al Hidayah.
Saat ditemui, ia tampak sedang mengangkut puing sisa pembangunan dan ditaruhnya di area sekitar mushala yang dulunya rawa. Kebetulan tempat usahanya, studio King Peercing dan Tatoo Andalas Banjarbaru, tepat berada di seberang mushala. Kedua bangunan itu adalah bagian dari kawasan daerah Mingguraya Banjarbaru.
“Saya cukup prihatin dengan mushala ini, karena masyarakat seolah acuh untuk merawatnya,” Jay menjelaskan. “Karena kebetulan tempat saya bertatapan dengan mushala ini, muncul dari hati saya untuk peduli dan niat tulus mengurusnya.”
Pria kelahiran Padang, 13 Agustus 1971 itu mengaku mulai pergi merantau di usia 11 tahun. Setelah itu, ia malang melintang ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Riau, Jakarta, dan Bandung. Meski cuma tamatan Sekolah Dasar, pengalaman telah menempanya hingga sedemikian rupa.
Ia tiba di Banjarbaru tahun 2002. Berbekal hobi menggambar dan kemampuan tato, ia kemudian membangun tempat usaha peercing dan tato di area Mingguraya yang biasa menjadi lokasi bersantai pelbagai kalangan. Sedangkan mushala baru dibangun 12 tahun silam oleh pemerintah kota Banjarbaru.
“Saya mengurus mushala ini juga sebagai bentuk menghargai rumah ibadah.”
Jay mengungkapkan, di Padang mushala semacam itu biasa disebut surau tingga, atau surau yang diabaikan. Dia mengibaratkan nasib mushala yang kurang beruntung itu serupa anak yang dibuang dari orangtua kandungnya. Dia, sebagai orangtua angkat, kemudian memungut dan merawatnya seorang diri.
“Maksud saya, mushala ini aset pemerintah. Karena pemerintah tidak tahu menahu, ya saya rawatlah sebisa saya, begitu kurang lebih,” bebernya.
Menurut cerita, mushala itu sempat diurus oleh warga sekitar, karena penampilan Jay dianggap tidak layak untuk memeliharanya. Tapi alih-alih dirawat dengan getol, mushala itu semakin telantar dan mengenaskan. Dia kemudian mengambil alih lagi mushala itu setelah pengurus lama kabur angkat tangan.
Di sela senggang, ia tidak kerepotan mencor semen bagian mushala dan mencat tempat ibadah itu hingga menjadi enak dilihat. Adapun, ia tegas dengan para jemaah dan pengunjung yang memakai mushala. Kadang sifat kerasnya keluar saat memarahi pengunjung yang mengotori rumah Tuhan tersebut.
“Sebenarnya ini bukanlah sifat aslinya saya, tapi harus diketahui maksud dan tujuan di sini, adalah demi mushala ini tetap bersih dan dihargai. Kalau bersih berarti rumah Tuhan, tapi kalau kotor berarti rumahnya setan,” tutup Jay.
Para pedagang di sekitar kawasan Mingguraya memberi tangan hangat.
“Mungkin orang yang baru kenal akan ngeri dengan penampilannya, tapi sebetulnya ia baik dan mudah diajak bicara,” kata Faqih, pedagang kopi Point Culture di Mingguraya.
“Bahkan kami merasa tertolong dengan kehadiran Bang Jay. Ia sering berjaga saat musim kemalingan di Mingguraya, masa PSBB dulu. Terlebih lagi soal mushala, tanpa dia mushala itu mungkin tak ada,” tandasnya. (MS)
Tidak ada komentar